Merenungi remaja sebagai cikal bakal penerus perjuangan dan cita-cita bangsa paska kemerdekaan merupakan suatu keniscayaan bagi setiap generasi. Masing-masing angkatan pasti memiliki visi jauh kedepan yang tidak mungkin dituntaskan mutlak dalam satu periode. Masing-masing angkatan pasti mebutuhkan generasi-generasi penerus visi-misi besar mereka. Oleh karena itu, angkatan muda yang dalam hal ini adalah remaja itu sendiri berperan menjadi cadangan keras (iron stock) dan tulang punggung harapan semua generasi baik saat ini maupun yang telah lalu. Lewat tangan-tangan dingin dan jiwa muda remaja diharapkan banyak inovasi akan lahir sebagai solusi menghadapi persoalan multidimensi bangsa ini kelak.
Remaja dalam masa mudanya lekat kaitannya dengan masa-masa kritis dalam grafik perkembangan pribadi. Dimana manusia berada dalam masa belajar “menjadi”, meniru dengan improvisasi pribadi, dan tahap menuju prodiktivitas yang lebih besar. Pada masa ini sangatlah berarti penanaman nilai, visi, dan pembentukan persepsi. Derasnya arus informasi yang berlalu-lalang dan sumber informasinya yang beragam pula menjadikan remaja memiliki mobilitas dan frekuensi sosialisasi tinggi dalam komunitasnya.
Dalam komunitas mulai terbentuk persepsi akan nilai-nilai yang nantinya dianut sebagai etika dalam menjaga hubungan dan pertemanan. Misalnya siswa lulusan SMP yang berada di lingkungan baru (SMU) akan beradaptasi dengan nilai-nilai SMA (lingkungan barunya) baik itu dalam hal positif maupun negatif yang mengantarkan mereka pada etika solidaritas lingkungan barunya.
SOLIDARITAS MENYATUKAN KOMUNITAS
Remaja kerapkali mengidentifikasikan diri pada komunitas atau kelompok yang dimilikinya. Baik itu organisasi, klub, teman main atau sahabat. Saya sendiri misalnya. Saya menjadi anggota PASKIBRA selama hampir tiga tahun. Saya lebih sering memperkenalkan diri sebagai seorang PASKIBRA. Begitu juga dengan teman lain yang memiliki organisasi berbeda dengan saya. Mereka lebih mudah memperkenalkan diri sebagai “anak” organisasi yang mereka berada didalamnya.
Dalam komunitas, semesta potensi diri yang dimiliki seorang remaja biasanya lebih mudah tersalurkan. Baik dalam bentuk diskusi (brainstorming), berbagi (sharing), ataupun aktualisasi diri lewat berbagai ajang kompetisi. Secara tidak langsung hal tersebut berdampak terhadap kepedulian sesama dan rasa saling memiliki yang semakin kuat antara teman satu komunitas. Bahkan di antaranya ada “milik nggendong lali” sehingga rela berkorban apapun demi temannya. Solidaritas yang terbentuk ini kemudian mempererat tali silaturahmi, pertemanan, dan tolong menolong dalam menghadapi suatau keadaan. Semakin kuat solidaritas yang terbentuk, makin besar pula ketergantungan yang tercipta dalam satu komunitas pertemanan.
PERGESERAN MAKNA
Sayangnya diantara solidaritas yang terbentuk itu terdapat kelemahan pengawasan nilai-nilai asing yang dapat mencemari kualitas hubungan diantara remaja saat ini. Solidaritas-pun disalah artikan. Pergeseran makna dari solidaritas sosial dimana “satu untuk semua” dan jargon “rambate rata hayo” dijunjung tinggi, kini menjadi solidaritas pragmatis yang justru menciptakan istilahnya sendiri “semua untuk satu” yang apatis terhadap kondisi teman lainnya. Remaja menjadi cenderung bersikap solider (kompak) untuk melindungi kepentingannya sendiri dalam komunitas. Peran westernisasi yang mengusung budaya liberal lewat berbagi media dan gaya hidup agaknya menyumbang sedikit banyak pengaruh individualisme pada remaja zaman ini. Gaya hidup yang mulai beralih dari prinsip-prinsip gotong royong menjadi gaya hidup individualistis telah merekombinasi pemahaman remaja terhadap arti solidaritas dalam pergaulan dan lingkungan.
Sebelum menulis essay ini, saya sempat berkorespondensi dengan teman-teman lain. Saya menanyakan ihwal pendapat mereka seputar apa yang pertama kali terlintas di benak ketika mendengar kata - kata solidaritas di kalangan remaja. “Mencontek”. “Lulus”. “Kerjasama”. “Kepekaan antar remaja untuk saling membantu baik positif maupun negatif”. Itulah tanggapan mereka. Terlebih tanggapan ini akan membuat kita heran karena teman - teman yang menjadi responden saya ini adalah para aktifis organisasi dan pandai dibidang akademis. Sederet kata-kata tadi kiranya cukup mewakili pergeseran makna yang telah kita singgung sebelumnya.
Masih hangat isu Ujian Nasional 22 - 26 Maret 2010 lalu mengingatkan kita bukti nyata penyalahgunaan hubungan pertemanan. Banyak siswa yang secara terang - terangan membeli atau menawarkan kunci jawaban kepada teman lain karena takut tidak lulus dalam ujian. Peristiwa getok tular yang manjur di kalangan remaja menjadi ajang salah guna untuk menjaring teman yang menginginkan kecurangan dalam ujian. Mengatasnamakan solidaritas agar siswa lulus 100% dan menolong anak yang kurang pandai, anak-anak malas yang takut tidak lulus ujian mengorbankan teman lainnya yang sebenarnya tidak butuh kecurangan dengan menjerumuskan mereka pada resiko yang justru dapat membuat mereka tidak lulus dalam ujian. Kejujuran dikesampingkan dan etika lulus ujian secara mandiri dijungkirbalik menjadi etika lulus ujian bersama dengan bekerjasama. Atas nama solidaritas. Pantaskah disebut solidaritas?
Contoh lainnya adalah tawuran antara pelajar atau geng pelajar yang makin marak terjadi di Ibu kota. Bagi mereka mengorbankan diri untuk kelompok adalah lazim. Parahnya, hal ini menjadi pembenaran mereka utuk bertindak tanpa norma seperti menjarah, melukai, dan merusak fasilitas publik. Prinsip sama rasa dan jiwa korsa disalah arti menjadi chauvinisme kelompok. Meminjam kata milik Andrea Hirata, pertemanan disini menjadi identik dengan partner in crime yang mengarah pada kenakalan remaja (juvenile deliquency) .
Dua peristiwa di atas menggambarkan secara jelas bahwa ada celah lebar menganga yang terbengkalai oleh lingkungannya. Lingkungan itu bukan siapa – siapa melainkan kita sendiri. Baik kita sebagai pribadi yang tahu akan keadaan ini, sekolah sebagai institusi yang berhadapan langsung terhadap pendidikan remaja di bangku sekolah, maupun pemerintah yang seharusnya “pegang kemudi” dengan arah kebijakannya melalui kementrian.
Solidaritas yang maknanya kurang lebih persatuan dan rasa saling memliliki biarpun acapkali tidak terlalu dipersoalkan rupanya memiliki pengaruh besar terhadap masa depan bangsa. Rusaknya akar - akar hubungan yang solid, dinamis, dan kreatif antar remaja dan generasi muda dapat sekonyong-konyong melemparkan nasib bangsa kita menjadi bangsa yang tak bermasa depan disaat bangsa - bangsa lain justru berbenah dengan angkatan mudanya. Maka sudahlah kewajiban kita sebagai remaja dan generasi penerus perjuangan pendahulu yang harus mengembalikan makna solidaritas ketempatnya, yaitu pertemanan yang saling menguatkan berlandaskan ketulusan terhadap sesama dan bukan sebaliknya.
POTENSI DEMOGRAFI
Bangsa kita patut bersyukur akan besarnya potensi generasi mudanya. Pertumbuhan penduduk yang cukup besar menjadikan bangsa ini tidak pernah kekurangan generasi untuk melanjutkan kehidupannya. Seharusnya kita belajar dari negara - negara Uni Eropa saat ini. Dari berbagai laporan kependudukan di Eropa isu demografilah yang semakin mencuat. Devisit golongan muda dan surplus golongan tua menandai kecilnya laju pertumbuhan penduduk. Pemerintahpun ikut dibuat kesulitan untuk meningkatkan perkembangan negaranya. “Tekanan makin besar,” tukas Michaela Grimm dalam menanggapi hal ini, seorang ekonom senior dari Allianz
Cukup besarnya presentasi penduduk usia muda (remaja-dewasa) dalam demografi penduduk Indonesia sesungguhnya menyimpan potensi maha besar bagi akselerasi perkembangan bangsa. Yang sangat disayangkan ialah justru pemerintah yang kurang tanggap dan terlihat tidak serius. Dukungan pemerintah terjadap kegiatan remaja di tingkat sekolah sangat kurang. Kegiatan malah diambil alih dan di eksploitasi oleh pihak swasta yang relatif lebih bersahabat dengan isu - isu remaja dan cenderung mau bekerjasama dengan pihak sekolah. Tidak adanya keterlibatan pemerintah di tingkat sekolah sangatlah disayangkan. Padahal di tingkat inilah aktualisasi dinamisnya kehidupan remaja paling besar ditunjukkan. Seperti yang terlihat, pemerintah justru sibuk berkutat dengan masalah politik runyam tak kunjung henti dan tidak ada gaungnya terhadap isu-isu di kalangan ramaja. Jika perlakuan terhadap generasi pemuda terus seperti ini, patutlah kita bertanya. Mau dikemanakan masa depan bangsa Indonesia?
Remaja yang identik dengan semangat membara dan jiwa muda memiliki kecenderungan untuk mengeksplorasi diri mereka dengan cara mereka sendiri. Salah satunya dengan berorganisasi. Kepercayaan diri remaja yang di bangun dalam komunitas atau organisasi nantinya akan menjadikan remaja lebih berani berekspresi. Termasuk cara mereka mengekspresikan rasa solidaritasnya. Seorang yang telah lama berkecimpung di dunia organisasi kelamaan akan terbiasa menghadapi ragam permasalahan. Dari sini timbulah inisiatif ingin bertindak dan mecari solusi yang berujung lahirnya sebuah inovasi baru dari benak mereka.
Membuat kegiatan kecil dalam organisasi sebagai wujud kepedulian membangun komunitas adalah salah satu contoh sederhana dari ekspresi tersebut. Atau bahkan lebih jauh lagi dengan membuat kegiatan yang dipandang berguna bagi masyarakat luas diluar komunitas.
Sebagai contoh nyata, keikutsertaan para remaja Pondok Pesantren At-Taqwa Putra, Babelan, Bekasi, Jawa Barat Desember lalu misalnya. Santriwan – santriwati mengikuti pelatihan Santri Indigo. Para santri ini mengemas aksi solidaritas mereka lewat pelatihan internet. Keprihatinan terhadap maraknya konten pornografi di dunia maya menggerakkan mereka dalam aksi pemutihan internet. Tiap santri akan mem-posting-satu informasi positif tiap harinya sebagai aplikasi kepedulian mereka terhadap upaya pemutihan internet. Contoh lain dari solidaritas yang diinterpretasikan secara positif yaitu ketika isu pemanasan (global warming) santer dibicarakan. Remaja mulai turun kejalan ikut menyuarakan dukungan mereka. Dengan contoh demikian sebenarnya kita mampu melihat perubahan yang dibawa generasi muda bangsa ini. Lingkungan yang tadinya pasif berkat rasa kepedulian generasi muda (remaja) kini menjadi makin tanggap dengan isu-isu lingkungan. Di titik ini pada akhirnya hubungan yang erat, arus diskusi yang kuat dan keadaan saling mendukung antar teman menjadikan komunitas lebih dinamis. Solidaritas remaja di titik kulminasi ini akan membangun komunitas generasi muda menjadi bagian dari agen perubahan (agent of change).